Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Simbiosis Mutualisme antara negara dan professor

Artikel singkat ini tidak akan membicarakan apa itu definisi professor dan bagaimana mencapai jabatan fungsional tersebut. Secara singkat, artikel ini hanya sebuah potret pendidikan tinggi Indonesia yang menginginkan setara dengan dengan negara maju. Mutu pendidikan tinggi yang dipotret dari kacamata akreditasi baik nasional maupun internasional. Bagaimana sebuah mutu pendidikan tinggi, dalam hal ini perguruan tinggi maupun unit terkecilnya, yaitu program studi. Belakangan ini tentu kita menyimak pemberitaan di media nasional yang menguliti para politisi yang mengajukan diri menjadi professor. Tentu, beberapa pendapat dari kalangan akademisi secara sigap meninjau professor politisi atau politisi professor, isitilah mana istilah yang tepat, silahkan pembaca renungkan sendiri.

Jika kita mencoba melihat realita, aturan pemerintah mengatur kepangkatan minimal untuk mengajukan jabatan fungsional professor. Apa tujuannya? Tidak ada yang tahu, namun, banyak yang menduga ini adalah cara pemerintah dalam menghambat laju pertumbuhan professor di Pendidikan Tinggi yang mirip jamur di musim hujan. Para akademisi muda bermunculan menjadi professor. Tentu ini berguna karena secara fisik mereka akan memiliki produktivitas tinggi dalam tiga aspek tridarma: pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Selain itu, semakin banyak professor akan meningkatkan seberapa baik tingkat akreditasi suatu perguruan tinggi atau program studi. Apakah mereka layak? Ukuran kelayakan ini dinilai oleh negara lewat lembaga tertentu, mungkin layak atau mungkin tidak. Saya sendiri tidak tahu ukuran kelayakannya.

Namun, ada yang menarik melihat kinerja professor di Indonesia. Sebuah laporan, The Conversation-sebuah media internasional, memotret kinerja professior dari luaran publikasi riset; 8 dari 10 guru besar mempublikasikan hasil riset pada jurnal predator. Idealnya, publikasi riset adalah bentuk komunikasi hasil riset pada masyarakat khusus (akademisi) atau masyarakat umum. Gagal atau berhasil sebuah riset perlu dikomunikasikan sebagai bentuk tanggung jawab personal terhadap masyarakat. Terlebih dana riset tersebut bersumber dari APBN yang bersumber dari masyarakat. Pada kenyataannya, pragmatisme akan selalu menjadi bagian terpisahkan dari sebuah dinamika sosial, termasuk riset dan kewajiban professor. Dimana letaknya, bentuk komunikasi hasil riset ditujukkan bukan untuk mengkomunikasikan dimana titik lemah dan kuatnya riset yang dilakukan. Akan tetapi lebih pada pemenuhan kewajiban.  Kalau tidak ditunaikan, dapat menghambat pencairan tunjangan guru besar atau tidak punya kesempatan mengajukan kembali riset. Pada titik ini tidak ada yang keliru-ini hanya sebuah pragmatisme. Namun, seandainya hubungan personal professor dan pemerintah atau negara adalah sebuah simbiosis mutualisme. Negara untung dan professor juga mendapat manfaat. Pemenuhan kewajiban tersebut harus memberikan kontribusi nyata pada negara dalam bentuk peningkatan indek kualitas riset di Indonesia, yang masih sangat jauh di bawah negeri tetangga, Singapura. Secara lebih nyata, hasil riset menjadi bahan dalam menetapkan kebijakan dalam pemerintahan. Mengapa ini tidak terjadi, jangan-jangan pemegang kebijakan juga tahu bahwa riset yang dilakukan juga tidak merepresentasikan sebuah riset yang valid. 

Situasi ini merepresentasikan bahwa baik negara dan periset (professor) sama-sama saling memanipulasi satu sama lain. Dalam konteks negara, mereka telah menyediakan dana riset (masih jauh dari dana riset yang ditetapkan-misal 2% dari PDB) sehingga beban mereka lepas karena telah memfasilitasi professor untuk meriset. Disaat yang sama, professor juga menunaikan kewajiban mereka dengan asal ceklist bahwa mereka telah menunaikan kewajiban. Tentu, situasi sangat kompleks jiga berlangsung secara terus menerus. Pengeluaran dana riset dan luaran riset hanya sebagai syarat administrasi semata yang berujung pada istilah "zero impact". Dampak seriusnya adalah stagnasi kualitas pendidikan atau mutu pendidikan tinggi dimana professor bekerja, lemahnya kompetensi, dan munculnya filsafat cuanisme sebagai dasar dalam melakukan riset. 

Akhir kata, saya ingin mengutip pernyataan seorang fisikawan jenius (Albert Einstein), "Jangan berharap mendapatkan hasil yang berbeda jika kita melakukan dengan cara yang sama terus menerus". Apa hubungannya kutipan ini dengan tulisan di atas, tidak ada sama sekali... Salam sehat untuk semua pembaca.

Post a Comment for "Simbiosis Mutualisme antara negara dan professor"