Musim Dingin Taipe 2025
Tahun ini terasa cukup berkesan. Bukan semata karena saya telah melewati semester pertama sebagai mahasiswa doktoral di salah satu kampus di Taipei, melainkan karena sebuah hal yang bagi saya justru jauh lebih bermakna: selama tinggal di Taipei, saya tidak pernah sekalipun mengonsumsi obat asma. Bukankah itu sebuah pencapaian yang luar biasa? Di Indonesia, hari-hari saya hampir selalu ditemani nebulizer, terutama di keheningan malam. Asma telah menjadi kawan lama sejak masa kanak-kanak; hari tanpa obat asma bisa dihitung dengan jari.
Pertama kali menginjakkan kaki di Taipei—yang kerap disebut sebagai ibu kota Taiwan—saya segera menyadari kompleksitas identitas wilayah ini. Perdebatan tentang apakah Taiwan merupakan sebuah negara atau provinsi tampaknya tidak pernah benar-benar usai. Namun bagi saya, Taiwan adalah negara maju. Pembenaran atas anggapan itu cukup jelas: industri Taiwan ditopang oleh teknologi tinggi, bukan oleh industri padat karya seperti yang masih banyak ditemui di Indonesia. Dari sisi arsitektur kota, meski saya belum pernah mengunjungi Jepang dan hanya mengenalnya melalui media, Taipei terasa menyerupai kota-kota di negeri sakura. Apakah ini warisan kolonial Jepang di masa lalu, ataukah karena kesamaan kondisi geografis sebagai wilayah rawan gempa sehingga struktur bangunannya pun serupa? Saya jujur tidak mengetahui apakah kemiripan ini berakar pada sejarah atau semata pertimbangan teknis.
Jika dibandingkan dengan orang Indonesia, masyarakat Taipei cenderung lebih dingin—bukan dalam arti buruk, melainkan dalam cara berinteraksi. Mereka berbicara seperlunya saja. Sangat berbeda dengan komunitas Indonesia, yang di mana pun bertemu selalu mampu mengalirkan obrolan entah sampai ke mana ujungnya. Namun, hidup di Taipei menyimpan keunikan tersendiri. Harga sandang dan pangan relatif tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Perbedaan paling mencolok justru terletak pada mahalnya harga papan. Menariknya, kesenjangan upah antara Indonesia dan Taipei sangat signifikan. Bekerja paruh waktu di Taipei dapat menghasilkan sekitar satu juta rupiah, bahkan lebih, bergantung pada jumlah jam kerja. Sulit membayangkan kondisi serupa di Indonesia. Meski demikian, jika harus memilih tempat tinggal, Indonesia tetap akan menjadi pilihan utama.
Sebenarnya, tulisan ini awalnya ingin bercerita tentang musim dingin di Taipei. Namun, barangkali karena otak yang sedikit membeku, arah tulisan ini menjadi agak berkelok. Bagi orang yang terbiasa tinggal di Jawa Barat—khususnya Garut—musim dingin di Taipei mungkin tidak se-ekstrem yang dibayangkan. Julukan Garut sebagai “Swiss van Java” seolah memberi pembanding yang masuk akal. Namun tetap saja, musim dingin di Taipei meninggalkan kesan tersendiri: berjalan kaki tanpa keringat adalah sebuah kemewahan kecil. Perbedaan paling nyata justru terletak pada durasi siang yang lebih singkat dibanding malam. Tentu saja, sebagai orang fisika, fenomena ini mudah dipahami. Meski musim dingin itu sendiri bukan kejutan besar, kejutan pertama justru datang dari pengalaman studi doktoral saya.
Saya membayangkan studi doktoral akan diisi dengan proses bimbingan yang sistematis: bolak-balik revisi, diskusi intensif, atau setidaknya upaya profesor dalam menumbuhkan kemampuan menulis naskah ilmiah. Kenyataannya sangat berbeda. Sebagai mahasiswa doktoral, saya justru dituntut untuk sepenuhnya mandiri. Jika ingin berkonsultasi, menghubungi profesor memang relatif mudah, tetapi mereka tidak akan proaktif menanyakan perkembangan penelitian kita. Tentu saja, pengalaman ini sangat subjektif dan bergantung pada karakter masing-masing profesor. Saya membayangkannya berbeda dengan sistem di Australia—meski belum pernah studi atau bekerja di sana, pengalaman menulis naskah ilmiah memberi kesan bahwa setiap inci tulisan akan diperiksa dengan sangat teliti. Pada akhirnya, di mana pun kita belajar, penentu utama tetaplah diri sendiri, bukan profesor atau lingkungan. Ini bukan keluh kesah, melainkan sebuah fakta yang seharusnya disadari oleh setiap individu.
Pada akhirnya, Taipei bukan hanya menghadirkan ruang baru untuk belajar dan tinggal, tetapi juga cermin untuk melihat diri sendiri dengan lebih jujur. Di kota ini, saya belajar bahwa kesehatan bisa pulih tanpa disadari, kemandirian tumbuh tanpa banyak bimbingan, dan kesunyian justru memberi ruang bagi perenungan. Studi doktoral, musim dingin, jarak dari tanah air, dan bahkan ketiadaan obat asma, semuanya menyatu sebagai pengalaman yang membentuk—bukan sekadar pengalaman akademik, melainkan pendewasaan personal. Barangkali inilah makna sesungguhnya dari merantau: bukan sejauh apa kita pergi, melainkan seberapa dalam kita memahami diri sendiri.

Post a Comment for "Musim Dingin Taipe 2025"